Ber-Hukum Islam di Era Kontemporer


Rifqy Naufan Alkatiri
(Student at Islamic Law Department University of Muhammadiyah Malang)



“Hukum Islam adalah ajaran Tuhan yang suci, namun akan hilang kesuciannya ketika hanya dijadikan ornamen keagamaan dan pelengkap saja tanpa benar-benar dijadikan pedoman dan penuntun dalam hidup”
-Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A-

            Frasa hukum Islam merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Indonesia, yakni “hukum” dan “Islam”. Dalam Kamus Istilah Hukum, kata hukum diartikan sebagai “Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dalam menentukan tingkah laku manusia,” sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa hukum berarti “Patokan, kaidah atau ketentuan yang mengatur sesuatu.” Dan Islam sebagaimana yang kita ketahui bersama merupakan nama dari sebuah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad atas wahyu-wahyu Tuhan (baca: Allah) yang diturunkan kepadanya. Menurut Dr. Abdul Rahman Dahlan, hukum Islam adalah seperangkat aturan yang berisi hukum syara’ bersifat terperinci berkaitan dengan perbuatan penganut agama Islam yang dipahami dan digali dari sumber-sumber, dalil-dalil dan metode-metode syara’. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa hukum Islam adalah seperangkat aturan dan ketentuan yang dijalankan oleh para penganut agama Islam, baik berupa perintah, larangan ataupun kaidah-kaidah lain. Dalam masyarakat awam –terkhusus masyarakat Indonesia, istilah hukum Islam seringkali disandingkan dengan istilah Syari’ah, Fiqh, Qanun, Qadha’ bahkan Fatwa. Memang tidak sepenuhnya salah, tapi istilah-istilah tersebut memiliki arti yang lebih sempit dan menjadi bagian tak terpisahkan dari hukum Islam. Misal Fiqh yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah, Syari’ah dengan aqidah atau hukum-hukum, Qanun dengan perundang-undangan, Qadha’ dengan putusan hakim dan Fatwa dengan putusan mufti, ustadz (dan sejenisnya) atau ulama’ (baca: cendekiawan muslim). Imbuhan ber- dalam kaidah bahasa Indonesia berfungsi sebagai pembentuk kata kerja atau kata sifat. Jika dimasukkan dalam frasa hukum Islam, maka bisa diartikan sebagai menggunakan atau memakai hukum Islam dalam kehidupan.

            Selanjutnya, era kontemporer, sebagaimana disebutkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, berarti “masa sekarang, masa kini dan masa modern.” Jadi ber-hukum Islam di era kontemporer secara umum maksudnya adalah menggunakan hukum Islam dalam kehidupan di masa kini. Kita ketahui bersama, masa kini –atau biasa disebut modern, 4.0, dan sebagainya, adalah masa dimana zaman sudah berubah dan berbeda dengan zaman disaat turunnya ajaran Islam. Ini adalah masa dimana banyak sekali perkembangan dan pemutakhiran baik dalam bidang teknologi, sosial dan segala segi kehidupan, yang sekali lagi sudah jauh berbeda dengan masa awal turunnya ajaran Islam. Pasti ada tantangan-tantangan dan hambatan dalam kita ber-hukum Islam di era kontemporer ini. Misalnya saja ada permasalahan yang tidak kita temukan hukumnya dalam sumber hukum Islam. Seperti Narkoba, konsep Pancasila, hingga pluralitas sosial. Menurut Azaki Khoirudin dalam bukunya Nun: Tafsir Gerakan al-Qalam, salah satu ciri masyarakat modern dan terlebih lagi posmodern adalah adanya kombinasi antara radikalisme epistemologi warisan dan liberalisme substantif. Jika kita masukkan ke dalam konsep ber-hukum Islam, seperti pernah diungkapkan oleh Buya Syafi’i Ma’arif, maka dapat kita simpulkan bahwa kita harus radikal (baca: mengakar) dalam urusan aqidah dan ibadah mahdah atau biasa disebut puritan, tapi kita harus liberal mengenai hal pemikiran dalam urusan muamalah dan ibadah ghairu mahdah atau biasa disebut moderat. Dua hal tersebut harus dikolaborasikan secara epik agar konsep ber-hukum Islam yang kita lakukan bisa sesuai dengan zaman kita tapi tidak melenceng dari sumber utama ajaran Islam. Lalu bagaimana konsep ber-hukum Islam di era kontemporer yang bisa kita lakukan?

            Disini penulis menawarkan konsep yang berbunyi "الرجوع إلى القرآن والسنة مع التجديد", bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi “Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (baca: Hadits) bersamaan dengan Tajdid (Pembaharuan).” Dalam kalimat di atas penulis menggunakan kata sambung مع dan bukan و dalam memisahkan antara frasa pertama (الرجوع إلى القرآن والسنة) dengan frasa kedua (التجديد), karena penulis menilai kata و itu merupakan representasi pemisahan sedangkan kata مع merupakan representasi dari pembersamaan. Dan dua frasa itu tidak bisa dipisahkan, harus dijalankan beriringan antara pemurnian dan pembaharuan. Disini penulis terinspirasi dari salah satu kutipan Prof. Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa “Teks al-Qur’an dan sunnah akan tetap seperti adanya, sedankan alam, peristiwa dan IPTEKS akan terus berkembang tanpa final. Maka diperlukan pembaharuan pemahaman, agar doktrin keagamaan tidak membeku dan kehilangan relevansinya.” Dapat dipahami bahwa kita harus membiarkan teks al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam tetap seperti adanya –tidak usah dan tidak boleh kita merubahnya, karena memang itu sudah final. Tapi bagaimana kita membaca konteks dari isinya itulah yang tidak pernah final, teksnya memang tetap tapi tafsiran kita harus berkembang dan senantiasa diperbaharui sesuai dengan zaman dan permasalahan yang sedang terjadi. Disinilah pentingnya pembacaan bukan hanya pada teks, melainkan pada konteks bahkan ultrateks. Jika pembacaan teks hanya berhenti pada yang tersurat saja, maka pembacaan konteks dan ultrateks akan berlanjut pada kondisi sekitar bahkan yang akan terjadi alias visioner.

            Apa sebenarnya tajdid itu? Dan bagaimana cara kerjanya? Kata تجديد dalam kamus al-Munawwir berarti pembaharuan yang berasal dari akar kata جديد dengan artian yang baru. Prinsip inilah yang dapat memberikan landasan pijak bagi pemikiran keislaman untuk dapat menyikapi berbagai perkembangan baru secara lebih kreatif dan inovatif. Menurut Prof. Syamsul Anwar, tajdid memiliki dua pengertian dalam cara kerjanya, yaitu :
1.       Dalam bidang aqidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan aqidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi; dan
2.       Dalam bidang muamalat duniawiyah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman.

Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari Sunnah Nabi untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling mendekati Sunnah beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi ini tidak lantas mengurangi arti adanya keragaman dalam kaifiyat ibadah itu sendiri, sepanjang kaifiyat itu memang mempunyai landasannya dalam Sunnah Nabi. Berkaitan dengan aqidah, pemurnian berarti melakukan pengkajian untuk membebaskan akidah dari unsur-unsur khurafat dan takhayul. Inilah yang harus diubah dari mindset umat muslim, yang hanya melulu melakukan pengajian tanpa adanya pengkajian, ngaji dan kaji ini harus diimbangkan, antara ngaji keagamaan dan kajian keilmuan harus ada keseimbangan diantara keduanya. Terakhir, tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan aqidah dan ibadah khusus), berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang dapat diwujudkan manusia di bawah semangat dan ruh al-Quran dan Sunnah Nabi. Bahkan dalam aspek ini beberapa norma di masa lalu dapat berubah bila ada keperluan dan tuntutan untuk berubah dan memenuhi syarat-syarat perubahan hukum syara’. Tajdid disini bukan sekadar عأدة الشئ كالمبتدأ (mengembalikan sesuatu pada mulanya), tetapi juga bermakna الإحياء (menghidupkan sesuatu yang mati) atau bahkan الإصلاح (membangun, mengembangkan, memperbarui). Dalam dunia Islam, biasanya orang atau komunitas yang menggunakan tajdid dianggap sebagai kaum modernis dan reformis dalam beragama yang melakukan pendekatan terhadap sumber-sumber ajaran agama dengan cara ber-ijtihad guna melakukan pembaharuan sosial dan keagamaan di kalangan orang-orang Muslim.

            Kemudian ada istilah lagi, namanya ijtihad. Apa sebanarnya ijtihad? Dan apa relevansinya dengan tajdid? Ditinjau dari etimologi, kata إجتهاد berasal dari kata جهد. Ada dua bentuk mashdar yang dapat terbentuk dari kata jahada, yaitu pertama, kata جَهْد, yang mengandung arti kesungguhan. Dan kedua, kata جُهْد dengan arti adanya kemampuan yang di dalamnya terkandung makna sulit, berat dan susah. Perubahan kata dari jahada menjadi ijtahada mengandung beberapa arti diantaranya adalah mubalaghah, yaitu menunjuk penekanan arti. Dengan demikian, dari kedua bentuk kata mashdar di atas terdapat kandungan makna kesungguhan atau kemampuan yang maksimal. Adapun secara terminologi, dapat disimpulkan dari beberapa pendapat (Ibnu as-Subkhi, al-‘Amidi, asy-Syaukani dan Muhammad Abu Zahrah) adalah pengerahan kemampuan nalar secara maksimum menggunakan metode penggalian hukum untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah-masalah amaliyah (bukan aqidah dan akhlaq).

Dalam bahasa arab, ada dua suku kata yang saling berdekatan, yaitu جهاد dan إجتهاد, yang keduanya berasal dari satu rumpun kata. Baik kata jihad maupun ijtihad berarti “sungguh-sungguh”. Kata jihad dan ijtihad masing-masing memiliki arah yang berbeda, yakni kata jihad bermakna suatu gerakan yang ada dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku memperjuangkan syariat secara fisik. Adapun kata ijtihad berarti mengenal petunjuk agama yang dibawa oleh Rasul lewat penggunaan kemampuan berpikir tentang hukum syariat. Namun, kata jihad dan ijtihad masing-masing saling menopang dan melengkapi. Dengan lain perkataan, ijtihad merupakan jihad di bidang ilmiah, sedangkan jihad adalah ijtihad yang berbentuk perbuatan.

Untuk masalah relevansinya dengan tajdid –sudah penulis jabarkan sedikit di atas, yakni keduanya saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan. Dalam ber-tajdid kita memerlukan ijtihad dan dalam ber-ijtihad salah satu hasilnya adalah tajdid. Misal, Muhammadiyah pada Muktamar ke-47 di Makassar, menyampaikan bahwa Negara Pancasila adalah Dar al-‘Ahd wa asy-Syahadah (Negara perjanjian dan persaksian). Hal ini adalah suatu konsep pembaharuan yang belum pernah dikeluarkan oleh pihak manapun dan ini berarti Muhammadiyah telah ber-tajdid. Sebelum mengeluarkan putusan ini, sudah jelas Muhammadiyah melakukan ijtihad atau penggalian-penggalian sumber terlebih dahulu, yang dilakukan khususnya oleh Majelis Tarjih dan Tajdid. Hal ini membuktikan bahwa tajdid dan ijtihad tidak bisa dipisahkan dan akan selalu berjalan beriringan.



            Setelah diketahui konsep dan gambaran dari ijtihad, kini muncul pertanyaan lagi. Lalu apakah ijtihad diperlukan di masa sekarang ini? Apa dasar dan bagaimana prosesnya? Jawabannya adalah sangat perlu dan harus dilakukan, karena –di atas telah dijabarkan, zaman sekarang sudah berubah dan berbeda dengan zaman di saat turunnya ajaran Islam. Maka persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Islam pun semakin kompleks nan beragam. Dan mayoritas dari hal tersebut belum dan/atau tidak ditemukan dalil atau dasar hukum yang membahasnya. Karena risalah kenabian sudah berhenti dan al-Qur’an pun telah berhenti turun. Salah satu implikasi daripada doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul penghabisan ialah berhentinya wahyu Tuhan tersebut kepada manusia dengan otoritas-Nya yang mutlak itu. Memang untuk berfungsi dan memasyarakat, wahyu-wahyu itu perlu ditafsirkan. Namun harus tetap disadari adanya segi kemanusiaan dalam penafsiran yang terjadi melalui kegiatan ijtihad itu, yang membuatnya tidak mungkin terbebas sama sekali dari kemungkinan salah. Namun, demi kepentingan manusia sendiri, ijtihad itu harus tetap digalakkan. Tidak ada jalan lain dari itu. Bila ditemukan permasalahan baru, maka ber-ijtihadlah. Banyak sekali cara-cara dalam berijtihad yang dijabarkan dalam ilmu Ushul Fiqh, diantaranya istihsan, istishab, maslahah mursalah, tarjih, tajdid dan sebagainya.

            Berbagai problema umat Islam dimana saja ialah kesenjangan yang cukup parah antara ajaran dan kenyataan. Hal itu berarti bahwa kehidupan rohani keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita sering lupa bahwa dunia ini sebenarnya senantiasa berkembang. Sedangkan dalam setiap perkembangan, tentu berarti terdapat perubahan. Maka, agama harus mampu menampung perubahan dalam masyarakat tersebut. Dan yang amat diperlukan oleh umat Islam, melalui para pemikirnya, ialah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran Islam yang mapan, dan mengukurnya kembali, dengan sumber suci Islam itu sendiri, yaitu Qur’an dan Sunnah ditambah dengan pengalaman rasionya. Bila ditanyakan dasarnya, boleh atau tidak? Al-Qur’an sendiri dari waktu ke waktu senantiasa menggugat pembacanya untuk berpikir, merenung dan menggunakan akalnya. Dengan kita beriman secara kaffah akan melahirkan sikap yang selalu menyediakan ruang bagi pertimbangan akal sehat untuk membuat penilaian atas tiap persoalan. Karena sejatinya, Tuhan “telah percaya” dengan kemampuan manusia, maka Dia tak lagi mengirim utusan atau Rasul-Nya untuk mengajari mereka kebenaran. Misalnya banyak difirmankan-Nya, yakniافلا تعقلون, أفلا تتفكرون, لآيات لأولى الألباب  dan masih banyak lagi isyarat dari al-Qur’an dan Hadits Nabi. Tersirat Allah menyebut bahwa umat manusia dan jagad raya beserta seluruh isi dan peristiwa yang terjadi padanya adalah “ayat Tuhan” yang harus diperhatikan, dikaji dan dipedomani oleh orang-orang yang berpikir. Dan ini berarti sangat mungkin menggunakan bahan-bahan modern untuk memahami kembali pesan Islam, seperti menggunakan ilmu sosial otonom, ilmu sosial profetik, ilmu hermeneutika bahkan ilmu filsafat.

            Syariat Islam sendiri jika kita perhatikan lagi lebih serius, maka jelas terlihat mengandung berbagai keistimewaan, antara lain bersifat abadi, umum, meliputi segala bidang dan merupakan rahmatan lil alamin. Al-Quran dan Sunnah merupakan dasar-dasar hukum yang mampu memenuhi kebutuhan manusia sepanjang zaman. Atas dasar itulah, Allah telah memberikan hak kepada orang-orang yang memiliki kemampuan melakukan ijtihad bila terdapat masalah-masalah yang tidak ditetapkan secara jelas dan pasti di dalam Qur’an dan Sunnah. Dengan melakukan ijtihad dalam beberapa persoalan yang belum jelas tadi, syariat Islam mempu menghadapi dan menjawab masalah baru yang lain seiring dengan kemajuan kehidupan manusia.

            Perlu kami singgung sedikit disini mengenai konsep Islam Berkemajuan yang dibawa oleh Persyarikatan Muhammadiyah. Karena, ini merupakan salah satu hasil ijtihad di masa sekarang yang sangat memberi kontribusi dan manfaat dalam beragama dan bersosial di era kontemporer ini. Prof. Din Syamsudin mengungkapkan bahwa cita-cita ideal Muhammadiyah adalah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan membawa spirit Islam Berkemajuan dan “teologi berkemajuan”. Teologi berkemajuan ala Muhammadiyah selalu berorientasi ke masa depan dan menyiratkan adanya keberlangsungan, dan bahkan perkembangan. Azaki Khoirudin tak ketinggalan mengungangkap konsep Islam Berkemajuannya Muhammadiyah. Menurutnya Islam Berkemajuan bersifat kosmopolit. Muhammadiyah dapat menjadi teologi tengah dengan karakteristik mengakui kebhinekaan (diversity) dan menjadi masyarakat madani (civil society). Inilah yang disebut sebagai Islam yang berkemajuan, yakni membebaskan (dari kejumudan), memberdayakan (peran akal pikiran) dan memajukan (atau menyukseskan) individu dan masyarakat. Lalu seorang yang berpaham Islam Berkemajuan haruslah pikirannya berkemajuan pula. Menurut Zuly Qodir, orang yang berpikiran maju harus memiliki pikiran merdeka, tegas dalam bertindak, dan tidak berperilaku dzalim atas orang lain. Oleh karena itu, harus mampu berperilaku liberatif, yakni terbebas dari kerangkeng keangkuhan, kebencian, ambisi, dan bebas dari kerangkeng puji-pujian sesama manusia.


            Lebih gamblang lagi, Pradana Boy Z.T.F., Ph.D mengungkapkan bahwa “Islam berkemajuan” merupakan sebuah konsep yang menghendaki Islam selalu berada pada garis yang sejajar dengan dinamika kemanusiaan. Dengan kata lain, Islam berkemajuan dapat juga ditafsirkan sebagai Islam yang menyejarah dan memanusia, karena kemajuan zaman merupakan arus sejarah sekaligus kreasi manusia. Dalam kaitan ini, salah satu bidang dalam Islam yang sering mengalami pergulatan antara yang tetap dan yang berubah adalah bidang hukum Islam. Secara umum, pergulatan itu dapat diwakili oleh dua istilah penting dalam kajian hukum Islam, yakni syari’ah dan fiqh. Istilah pertama merujuk kepada prinsip-prinsip dasar yang bersifat abadi dan mutlak. Sementara yang kedua menunjuk pada sesuatu yang bersifat menyejarah, kontekstual, dan nisbi. Dengan menggunakan paradigma Islam berkemajuan, maka fiqh bisa dimasukkan sebagai salah satu bentuk implementasi “Islam berkemajuan” dalam arti Islam yang menyejarah dan memanusia, atau Islam yang sebangun dengan perubahan zaman sebagaimana disinggung di atas. Prinsip ini merupakan kritik terhadap keyakinan dan praktik tertutupnya pintu ijtihad yang merupakan buah dari fanatisme berlebihan terhadap mazhab-mazhab fiqih tertentu. Kritik lainnya tentu berkaitan dengan hakikat tekstualisme yang terkandung dalam prinsip itu. Prof. Kuntowijoyo, misalnya, telah menyadari bahwa kembali ke Al-Qur’an itu bisa melahirkan dua konsekuensi: pembebasan dan pembatasan. Pembebasan bisa terjadi, manakala “kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah” itu dimaknai sebagai mengambil makna etis dan prinsipil dari keduanya. Sementara, sebagai pembatasan akan mengemuka, tatkala penafsiran kepada kedua sumber dasar hukum Islam itu berputar pada makna dzahir keduanya. Sejalan dengan itu, Haeril Halim menyatakan “Progressive Islam pushes for advancement as emphasized in many of verses of the Kor’an. This concept is important especially when we want to open our eyes to see empirical facts that Muslims at certain levels have yet to make meaningful progress,” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Islam Berkemajuan mendorong kemajuan sebagaimana ditekankan dalam banyak ayat al-Qur’an. Konsep ini penting terutama ketika kita ingin membuka mata kita untuk melihat fakta empirik bahwa umat Islam pada tingkat tertentu belum membuat kemajuan yang berarti.”

            Akhirnya, penulis telah menjawab pertanyaan utama yang melandasi terbitnya tulisan ini, yaitu “Apakah ijtihad diperlukan di masa sekarang? Apa dan bagaimana?” Penulis menyimpulkan bahwa Ijtihad sangat perlu dan harus dilakukan di era kontemporer ini dengan alasan-alasan yang telah kami kemukakan di atas. Dasar utama dibolehkannya ijtihad adalah firman Allah mengenai akal, pemikiran dan perenungan yang harus dilakukan oleh manusia, dan itu merupakan salah satu jalan ber-ijtihad. Syariat islam memiliki keistimewaan bahwa ia adalah ajaran berkembang dan aktif dengan semua pokok-pokok dan kaidah-kaidahnya. Agama apapun tidak akan hidup, tidak akan berkembang dan tidak akan kembali pada energi serta kekuatannya kecuali melalui para ksatria pemikir jenius yang terus menerus lahir di hadapan setiap zamannya. Tak terkecuali dalam dunia islam hari ini yang tengah menghadapi berbagai macam problematika yang seluruhnya atau sebagian besarnya belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Problematika tersebut membutuhkan para pemikir yang siap untuk mengkaji, merenovasi dan melakukan ijtihad terhadapnya. Solusi atas hal tersebut tidak akan terwujud dengan kajian-kajian mentah yang selalu diturunkan dari generasi ke generasi, yang tidak mengusung karakter pembaharuan. Akan tetapi akan didapat dengan kajian-kajian mendalam yang menimbang hakikat seluruh problematika, kajian yang menghubungkan perkara-perkara cabang kepada pokok-pokoknya agar dapat menimbangnya dan menginovasi baginya jalan yang baru yang terus maju bersama majunya Islam serta kehidupan secara bersamaan. Sebagai penutup, penulis sampaikan ungkapan klasik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengatakan dalam bahasa Arabnya, “المحفظة على القديم الصالح والخذ بالجديد الأصلاح” –memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.


Wallahu A’lam bis Showab
Nuun wal Qolami wama Yasthurun








Daftar Rujukan

Al-Qaththan, Manna’ Khalil. Tarikh Tasyri’ al-Islamy: Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta: Ummul Qura. 2018.
Anwar, Syamsul. “Manhaj Tarjih Muhammadiyah,” Musyawarah Nasional XXX Tarjih Muhammadiyah, Majelis Tarjih danTajdid PP Muhammadiyah, Makassar, 2018.
Boy Z.T.F., Pradana. “Paradigma Islam Berkemajuan: Perspektif Hukum Islam,” Pelajar Bergerak, eds. Azaki Khoirudin.Bojonegoro: Nun Pustaka. 2014.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2010, 2014(cet.3).
Fanani, Ahmad Fuad, et.al. Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan. Yogyakarta: Muhammadiyah University Press. 2016.
Khoirudin, Azaki. Nun: Tafsir Gerakan al-Qalam. Yogyakarta: Surya Mediatama. 2012, 2015(cet.4).
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan dan KeIndonesiaan. Bandung: Mizan. 1987, 2008(rev).
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Bulan Bintang. 1989, 1999(cet.4).
Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Yogyakarta: Pustaka Obor Indonesia. 1984, 2019(rev).
Munawar, Budhy Azzain Jamil. Filecaknur: Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid. Bandung: Mizan. 2013.
Mu’ti, Abdul, et.al. Islamic Moderation in Indonesia: Muhammadiyah’s Experience. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. 2016.
Nashir, Haedar. Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. 2010.
Wahid, Abdurrahman, et.al. Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1990, 1993(cet.2).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syari'ah-Fiqh-Fatwa-Qanun-Qadha' : "Makna, Persamaan dan Perbedaanya"

Menuju Negara Hukum Demokratis yang Sebenar-benarnya

Hari Santri...Substansi dan Simbol...