Menuju Negara Hukum Demokratis yang Sebenar-benarnya


 

Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan baik, bahkan mungkin malah menimbulkan anarki. Sebaliknya, hukum begitu juga negara hukum tanpa sistem politik dan pemerintahan yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif

-Prof. Moh. Mahfud MD-



Pernahkah anda mendengar bahwa ada hakim yang menjatuhkan vonis secara tidak adil jika kita telaah lebih lanjut? Misalnya hukuman bagi pencuri batang kayu dan hukuman bagi pencuri uang negara yang bisa dibilang tidak sebanding. Ataukah anda pernah mendengar bahwa banyak kasus demonstrasi yang berakhir dengan rusuh dan ricuh. Misalnya, jika kita tengok tidak terlalu jauh adalah demonstrasi terkait penolakan UU Cipta Kerja lalu. Mungkin juga anda pernah mendengar ada dua kasus yang sama, namun mendapat perlakuan berbeda dari aparat penegak hukum? Atau bahkan kita mendengar problema-problema lain yang dihadapi bangsa yang tak terhitung lagi jumlahnya. Namun nyatanya, ini semua memang terjadi di negara yang dengan bangga mengaku sebagai negara hukum yang demokratis. Benar, Republik Indonesia namanya.

Konsep negara hukum sejatinya bersandar pada keyakinan bahwa negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan bijaksana. Negara hukum memberikan syarat bahwa setiap tindakan dari negara haruslah bertujuan menegakkan kepastian hukum, dilakukan secara setara serta memenuhi tuntunan akal dan budi. Sedangkan demokrasi dikenal sebagai suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat banyak. Demokrasi sebagai suatu sistem politik dan pemerintahan sangat erat sekali hubungannya dengan hukum. Demokrasi tanpa pengaturan oleh hukum mustahil berjalan mulus, bahkan mungkin malah memancing anarki. Sebaliknya, hukum tanpa sistem yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif. Negara hukum dapat dikatakan sebagai negara hukum yang demokratis apabila di dalamnya mengakomodasikan prinsip-prinsip negara hukum sekaligus prinsip-prinsip demokrasi.

Sejak Amandemen kedua UUD 1945, negara Indonesia adalah negara hukum yang sekaligus juga mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat (baca: demokratis). Hal ini dapat dibaca dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini sesuai dengan penggalan alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas pula bahwa “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”. Berdasar pada hal-hal tersebut, maka jelas negara Indonesia adalah negara hukum yang mengakui bahwa rakyatlah yang berkuasa. Jadi, sejatinya Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, bukan negara hukum yang otoriter. Sebagai negara hukum, segala tindakan penyelenggara negara dan warga negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Namun pertanyaannya, apakah kesemua itu telah benar-benar direalisasikan dalam kehidupan bernegara Republik Indonesia? Bila kita tengok pada beberapa problema yang kami sajikan di paragraf pertama, rasanya konsep negara hukum yang demokratis belum benar-benar dipraktikkan di Indonesia. Semua ini masih hanya menjadi bahan bacaan dan bahan pelajaran yang masih menjadi angan-angan. Dalam tulisan kali ini, penulis bermaksud untuk mengkajinya dari pandangan Declaration of Bangkok tahun 1965 terkait syarat-syarat dasar yang harus dimiliki oleh suatu negara hukum yang demokratis. Kalau dilihat secara sekilas, Indonesia memang sepertinya telah memenuhi semua kriteria dalam deklarasi ini. Namun jika kita kaji lebih dalam lagi, maka kita akan menemukan kecacatan yang tersembunyi dari apa yang selama ini ditampakkan. Mari kita coba bedah satu per satu dari keenam syarat yang dikemukakan dalam deklarasi ini.

Pertama, adanya proteksi konstitusional. Yang dimaksud di sini yaitu adanya perlindungan dari negara kepada rakyatnya terkait hak-hak asasi manusia secara konstitusional, pun juga termasuk di dalamnya terkait adanya jaminan dalam hukum. Indonesia telah memiliki seperangkat peraturan terkait masalah ini, jadi tidak diragukan lagi kalau poin pertama ini terpenuhi. Sebut saja misalnya ketentuan dalam Bab X UUD 1945 dari pasal 28, 28A, sampai 28J, UU 39/1999, UU 26/200, dan sebagainya. Belum lagi jika ditambah dengan berdirinya Komnas HAM dan adanya peradilan HAM di Indonesia. Tapi apakah kesemuanya sudah terlaksana? Nyatanya kita masih menemukan terjadinya pelanggaran HAM dalam berbagai versi dan bentuknya. Belum lagi dengan berbagai problema HAM di masa silam yang belum dipecahkan atau diselesaikan.

Kedua, adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak. Yang dimaksud di sini yaitu lembaga kehakiman yang mandiri dan dalam melaksanakan proses peradilan tidak akan mendapatkan pengaruh dari mana pun dan tidak boleh memihak kepada siapa pun, termasuk kepada penguasa. Hal ini pun juga telah diatur dalam ketentuan negara, seperti dalam Bab IX UUD 1945 serta seperangkat peraturan lain yang membahas mengenai kekuasaan kehakiman, teknis peradilan dan segala terkait dengannya. Jenis peradilan di Indonesia pun juga komplit, mulai peradilan biasa, militer, tata usaha, hingga Tipikor pun ada. Tapi apakah kesemua ini sudah menjamin kepastian dalam pelaksanaannya? Nyatanya kita masih menemukan adanya tindak suap dan intervensi dalam proses peradilan di Indonesia, yang menjadikannya jauh dari nilai dasar negara hukum. Sehingga tak heran jika dalam pandangan kebanyakan masyarakat yang tidak menaruh kepercayaan pada lembaga peradilan dan aparat penegaknya.

Ketiga, adanya pemilihan umum yang bebas. Yang dimaksud di sisni yaitu terselenggaranya pemilihan umum dengan tanpa adanya paksaan atau tekanan kepada rakyat yang melakukan hak pilihnya dan tanpa adanya kecurangan dalam proses pemilihan tersebut. Bab VII B dan seperangkat peraturan lain, baik Undang-Undang, PKPU, maupun banyak lainnya telah mengatur masalah pemilihan umum di Indonesia. Semuanya telah diatur sedemikian rupa, baik dari kegiatan pra sampai pasca pemilihan diatur dengan apik. Ditambah dengan adanya kuasa Mahkamah Konstitusi yang menjadi pengadil terkait sengketa yang berhubungan dengan kepemiluan. Tapi apakah ini semua menjauhkan pemilu di Indonesa dari yang namanya politik kotor? Nyatanya kita masih sering menemukan money politic, black campaign, penggunaan isu SARA dan berbagai problema lainnya. Atau jika kita tengok pada pemilu 2019 lalu, yang mana adanya aduan terkait dugaan kecurangan yang TSMB, alias terstruktur, sistematis, masif, bahkan brutal. Dalam pemilu skala nasional saja, masih ada dugaan-dugaan seperti ini, walaupun kebenarannya juga tidak bisa dipastikan 100%. Jadi, apa kabar dengan pemilihan umum di daerah-daerah tingkat 1 dan 2?

Keempat, adanya kebebasan untuk berpendapat. Yang dimaksud di sini yaitu rakyat berhak memperoleh jaminan dalam hukum untuk dapat mengeluarkan pendapat, baik secara tertulis maupun lisan, pun juga secara individu maupun secara berkelompok. Khusus mengenai kebebasan berpendapat ini telah diatur dalam UU 9/1998 dan Pasal 28 serta 28E ayat (2) dan (3). Sudah sering kita mendengar gembar-gembor bahwa Indonesia sangatlah demokratis dengan kebebasan berpendapat ini, khususnya sejak jatuhnya orde baru dan dimulainya masa reformasi. Tapi apakah ini semua memang nyata dalam realisasi dan yang kita rasakan? Faktanya kita masih bisa menemukan adanya para penyampai pendapat, baik secara langsung ataupun melalui media, yang ditangkap oleh penegak hukum. Meskipun dengan berbagai alibi dari para penegak hukum bahwa mereka memang melanggar, tapi bukankah itu yang selalu digaungkan oleh para pemimpin kita? Mereka selalu haus akan masukan dan pendapat dari rakyatnya, apakah benar?

Kelima, adanya kebebasan berserikat dan melakukan oposisi. Yang dimaksud di sini yaitu adanya jaminan dalam hukum bagi rakyat untuk mendirikan perserikatan, perkumpulan, organisasi, partai dan sejenisnya. Rakyat juga mempunyai kebebasan untuk melakukan oposisi atau kritik yang membangun pada negara, baik melalui wakil rakyatnya maupun secara langsung, asalkan sesuai dengan aturan yang berlaku. Mengenai poin ini, peraturan yang mengikatnya juga sama seperti poin sebelumnya, yang pasti rakyat Indonesia pun sejatinya bebas berserikat dan beroposisi. Tapi apakah memang kebebasan ini benar-benar ada? Nyatanya kita masih menemukan adanya berbagai stereotip terhadap kelompok-kelompok tertentu, terutama kelompok-kelompok yang sangat vokal kepada pemerintah, kalau boleh kami menyebut merk misalnya KAMI, FPI, PA, dan lain sebagainya. Dan parahnya, para penguasa juga dianggap sebagai salah satu pihak yang menyebarkan stereotip ini. Dalam tulisan ini, kami tidak memihak manapun, kami berusaha sangat netral dan hanya menjadi pengamat kritis atas kondisi negeri ini. Pasti di antara kedua pihak ini memiliki sisi benar dan sisi salahnya, jadi bukankah lebih baik kita saling bergandengan dan mengkaji bersama?

Keenam, adanya pendidikan civic. Yang dimaksud di sini yaitu negara memberikan pendidikan kewarganegaraan kepada rakyat, sehingga rakyat dapat mengetahui dan mengerti hak apa saja yang dimiliki dan kewajiban apa saja yang harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Poin terakhir inilah yang penulis rasa benar-benar telah 100% dijalankan oleh negara dalam upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Kita semua tahu dan pernah mengenyam yang namanya PKn/PPKn/PMP atau sejenisnya sejak kita berada di Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi. Belum lagi jika ditambah dengan adanya pendidikan bela negara dan penjaringan Paskibra. Jadi, bisa dilihat bahwa poin ini memang benar-benar direalisasikan oleh pemerintah. Namun pertanyaan besarnya adalah, apakah pembelajarnya mendapatkan pemahaman yang sama? Dan apakah pembelajarnya bisa merealisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Di sinilah peran generasi bangsa sebagai generasi pembelajar dibutuhkan pula realisasinya.

Secara singkatnya, menurut pandangan Franz Magnis Suseno, ide dasar dari negara hukum yang harus dimiliki Indonesia ialah bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Oleh karena itu, dalam negara hukum tercakup empat tuntutan dasar, yaitu: pertama, tuntutan kepastian hukum yang merupakan kebutuhan langsung masyarakat; kedua, tuntutan bahwa hukum berlaku sama bagi segenap penduduk dan warga negara; ketiga, legitimasi demokratis dimana proses pembentukan hukum harus mengikutsertakan dan mendapat persetujuan rakyat ; dan keempat, tuntutan akal budi yaitu menjunjung tinggi martabat manusia dan masyarakat. Yang mana kita semua tahu bahwa sebenarnya Indonesia pun juga telah melakukan upaya-upaya untuk merealisasikan empat tuntutan ini. Dan semoga saja semua upaya ini benar-benar terwujud dengan usaha maksimal, sehingga tidak menajdi terjadi isapan jempol dan gigit jari semata.

Kalau kita lihat bahwa Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar dan pondasi yang cukup untuk menjadi sebuah negara hukum yang demokratis. Jadi tidak ada alasan sebenarnya bagi Indonesia untuk tidak sepenuhnya merealisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka kini hanya tinggal satu pertanyaan, apakah setiap unsur dalam negara Indonesia mau dan siap untuk bersama mewujudkannya? Jika jawabannya iya, maka kita pasti akan bersiap menjadi negara yang solid, kuat dan makmur untuk menyongsong golden age di tahun 2045. Atau jika jawabannya tidak, maka biarlah tetap menjadi angan bahwa Indonesia akan menjadi negara hukum demokratis yang sebenar-benarnya.

 

Isy Kariman au Mut Syahidan

Nun Walqolami Wama Yasthurun




Rifqy Naufan Alkatiri

*Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam UMM

**Ketua Umum PD Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Batu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syari'ah-Fiqh-Fatwa-Qanun-Qadha' : "Makna, Persamaan dan Perbedaanya"

Hari Santri...Substansi dan Simbol...