Materialisme Historis Karl Marx dan Teologi al-Mā’ūn Ahmad Dahlan



Rifqy Naufan Alkatiri*[1]

            Karl Marx dan Ahmad Dahlan memang adalah dua tokoh dengan background keilmuan yang berbeda. Ahmad Dahlan sebagai seorang kyai dengan ilmu keagamaan dan sosial. Sedangkan Karl Marx sebagai seorang polymath dalam bidang ekonomi, sosiologi bahkan Filsafat. Tapi ajaran atau doktrin mereka memiliki satu titik temu dalam pembahasan materi pembebasan. Disini Karl Marx mengutarakan paham dengan nama Materialisme Historis atau Materialis Sejarah dan Ahmad Dahlan mengemukakan paham dengan nama Teologi al-Mā’ūn. Dua hal yang digagas melalui dasar yang berbeda namun memiliki suatu persamaan dalam bahasannya. Keduanya dilatarbelakangi oleh pengamatan atas kondisi masyarakat sekitar yang mereka hadapi yang juga jelas
berbeda.



            Karl Heinrich Marx lahir pada tahun 1818 di Trier, Prussia, atau sekarang dikenal dengan sebutan Jerman dari keluarga Rabbi Yahudi. Marx dituntut ayahnya untuk menjadi seorang praktisi hukum seperti dirinya, namun dia menolak dan memilih pindah ke Berlin untuk belajar filsafat dan sya’ir (Franz, 2001: 46). Di Berlin ia belajar filsafat Hegel dan menjadi seorang Hegelian muda yang kritis dan juga kiri. Maksudnya adalah Hegelian muda ini mengkritik sistem politik yang otoriter dan antiliberalisme negara sehingga menjadi lawan atas Hegelian murni atau kanan yang mendukung Prussia. Tahun 1841, Marx meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Berlin dengan disertasi berjudul “The Different between The Natural Philosophy of Democritus and Epicurus.” Hal ini semakin menegaskan bahwa Marx adalah seorang Hegelian yang sekaligus anti agama (Farihah, Jurnal Fikrah vol.3, no.2, Desember 2015: 435). Setelah bergelar doktor, Marx pindah ke Koln dan mendalami filsafat Feurbach. Setelah itu dia pindah lagi ke Paris dan bertemu dengan Friedrich Engels yang kelak akan menjadi teman karibnya. Di Paris, Marx menjadi seorang sosialis lantaran seringnya berhadapan dengan kaum buruh industri. Di sini, Marx membuat beberapa tulisan-tulisan yang sekaligus menyindir teman-temannya dulu para Hegelian muda karena terlalu idealis dan religius, dia pun menyatakan berpisah dari teman-temannya itu. Karya Marx yang paling fenomenal hingga kini adalah Das Kapital yang berjumlah 3 jilid. Marx terus berpindah-pindah tempat tinggal dan menerbitkan tulisan-tulisan dan juga kritik-kritik terutama tentang materialisme dan sosialisme hingga akhir hayatnya pada tahun 1883.

            Marx tumbuh di tengah pergolakan politik yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis para Borjuis yang menentang kekuasaan aristokrasi feodal dan membawa perubahan hubungan sosial (Farihah, Jurnal Fikrah vol.3, no.2, Desember 2015: 435). Marx juga hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sampai-sampai adiknya meninggal karena kelaparan. Setelah menikah pun dia tetap hidup dalam keadaan susah, tak berpekerjaan tetap dan tiada penghasilan. Semua itu dianggapnya karena ulah kaum kapitalis yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Sehingga muncul istilah “Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.” Atas dasar itulah Marx mengeluarkan pemahaman materialisme yang juga dipengaruhi oleh filsafat Feurbach. Materialisme Marx terbagi menjadi 2, yaitu materialisme dialektis dan materialisme historis. Kedua-duanya sama-sama didasari atas peristiwa revolusi industri dan perjuangan kelas kaum proletariat atas kaum borjuis. Hanya saja yang membedakan adalah jika materialisme dialektis masih dan berhenti pada sekedar dialektika atau ungkapan-ungkapan, kritik-kritik dan retorika saja, maka materialisme historis sudah terwujud dalam aksi sosial yang revolusioner. Semua insan pasti bisa untuk melakukan materialisme dialektis, karena semua pasti bisa dan dengan mudah untuk mengungkapkan sesuatu. Namun, hanya orang-orang terpilih dan tergeraklah yang dapat melakukan materialisme historis. Akhirnya sebagai tindak lanjut dari teori ini, muncullah gerakan revolusi buruh yang berusaha meruntuhkan perbedaan kelas sosial. Namun hingga kini pun, sejatinya perbedaan kelas sosial itu takkan pernah hilang dan akan terus terlihat nyata. Teori materialisme inipun berlanjut dan masih berhubungan dengan yang namanya sosialisme. Karena sejatinya, esensi pemikiran filsafat Marx adalah materialisme historis dan sosialisme adalah muara imajinasinya. Dari sosialisme inilah semakin terang gerakan-gerakan yang menyamakan kedudukan setiap manusia, dan juga memanusiakan manusia.

            Tokoh kedua yang penulis bahas adalah Kyai Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwisy. Darwisy terlahir dari keluarga terhormat dan dekat dengan keraton Kasultanan Ngayogyakarta, terutama dengan urusan Masjid Gedhe (Haidar, 2017: 10-11). Namanya berganti menjadi Ahmad Dahlan setelah pulang dari Mekkah untuk berhaji saat remaja. Selama masa mudanya, Dahlan pergi haji dua kali dan disana dia berguru kepada para guru-guru besar dan terkenal, seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sepulang dari Mekkah, Dahlan melakukan gebrakan-gebrakan yang revolusioner, dan yang paling fenomenal yang menimbulkan pro kontra warga Kauman adalah pembenaran kiblat Masjid Gedhe Keraton. Setelah itu, dia pun dianggap sebagai ‘kyai kafir’ dan diperolok-olok. Namun Dahlan tetap tegar dan terus berjuang dalam jalan dakwah dan kegiatan sosial. Hingga pada 18 November 1912, Dahlan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Persyarikatan Muhammadiyah. Dengan organisasi inilah, Dahlan semakin melebarkan sayap dakwah dan gerakan sosialnya. Ahmad Dahlan terus berdakwah dan bersosial ke seluruh penjuru hingga pada akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta.

            Ahmad Dahlan sangat senang membaca dan mengkaji kitab-kitab tafsir dan pembaharuan ulama’ Barat Tengah (penulis merujuk pada pernyataan Pradana Boy ZTF, Ph.D yang mengungkapkan istilah Barat Tengah, karena sejatinya dunia Arab itu berada di Barat kita, bukan Timur, seperti istilah Timur Tengah yang selama ini masyhur di masyarakat). Dalam hal penafsiran al-Qur’an, Ahmad Dahlan sangat tergugah hatinya tatkala membaca tafsiran tujuh ayat surat al-Mā’ūn. Dahlan selalu mengkaji dan mengajarkan surat ini kepada murid-muridnya, hingga satu hari ada seorang murid yang bertanya apa tidak ada surat lain yang bisa dibahas, maka dijawab dengan tegas oleh Dahlan, “Sudahkah kamu memperhatikan kondisi masyarakat sekitarmu yang membutuhkan? Sudahkah kamu amalkan ajaran dari surat al-Mā’ūn ini? Apa yang sudah kamu lakukan untuk masyarakatmu? Untuk apa mengkaji yang lain jika masalah kemiskinan ini belum selesai.” Pernyataan ini, tentu dengan mempertimbangkan isi dari al-Mā’ūn sendiri, menegaskan bahwa Ahmad Dahlan berpandangan Islam harus turut menyelesaikan problem kemiskinan dan masalah terkait di masyarakat. Dan surat ini juga yang kelak menjadi salah satu dasarnya dalam mendirikan Muhammadiyah. Tentang poin pendusta agama pada surat al-Mā’ūn ini, secara garis besar Dahlan ingin merubah pandangan tentang Islam yang difahami pada zamannya, Islam yang diinginkannya adalah Islam yang bukan hanya berbicara ibadah ritual saja, tapi juga Islam yang komitmen terhadap penderitaan manusia, karena itulah bukti kongkrit dari rahmatan lil ‘alamin (Ibnu, Skripsi, 2009: 87). Gagasan-gagasan inilah yang kemudian dikenal sebagai Teologi al-Mā’ūn, atau juga Teologi Sosial, Teologi Mustad’afin bahkan ada yang menyebutnya Teologi Kiri. Maka tak heran jika kita meminjam istilah dari Buya Syafi’i Ma’arif bahwa orang Muhamamdiyah haruslah menjadi Ma’unisme yang siap mengamalkannya, karena hingga kini belum dirumuskan bingkai teori yang sistematis dan radikal berdasakan pemahaman ayat yang fenomenal ini (Ma’arif, Makalah, 2012). Lalu apa saja bukti-bukti yang telah dilakukan Ahmad Dahlan, bisa kita lihat dari gerakan sosialnya yang mendirikan sekolah gratis, pengobatan gratis, memberi makan orang miskin, mempekerjakan mereka dan masih banyak lagi. Karena sejatinya kemiskinan itu bukan hanya soal harta, tapi juga miskin ilmu, miskin kesehatan dan sebaginya. Bila dilihat hingga kini, Muhammadiyah tetap konsisten berada di jalannya, terbukti dengan maraknya Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, panti asuhan, sekolah-sekolah dan berbagai amal usaha yang digunakan sebagai ladang dakwah dan gerakan sosialnya. Dari sini jelas terlihat, betapa sosialisme seorang Ahmad Dahlan. Seorang kyai yang progresif dan juga filantropis.

            Apabila berkaca dari pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan di atas, jelas sekali terlihat ada satu titik temu dari Materialisme Historis dan Sosialis Karl Marx dengan Teologi al-Mā’ūn Ahmad Dahlan. Keduanya bertemu di titik dimana harus ada pembebasan dalam masyarakat. Pembebasan dari apa? Yakni pembebasan dari belenggu kemiskinan, keterpurukan dan perbedaan kelas derajat manusia. Meskipun jika dilihat dari sumbernya berbeda, jika Karl Marx mengambil dari teori-terori sosial dan filsafat, maka Ahmad Dahlan menyimpulkan dari tafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Tapi jika dilihat dari segi pendorongnya, maka kita akan menemukan kembali titik persamaannya, yakni pengamatan atas kondisi masyarakat sekitar dan kehidupan mereka sendiri. Kedua-duanya menilai harus ada orang yang merubahnya, atau jika tidak maka hal tersebut akan terus terjadi. Mereka semua juga telah melakukan aksi nyata untuk mewujudkan paham yang diajarkan dengan caranya masing-masing dan sesuai zamannya masing-masing pula. Satu lagi hal yang menarik dari dua tokoh dan pahamnya ini, yakni para pengikutnya hingga kini masih melakukan apa yang diajarkan mereka kurang lebih seabad yang lalu. Karl Marx dengan Marxisnya dan Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya.

            Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa ajaran Karl Marx dan Ahmad Dahlan itu di satu titik sinkron dan sejalan. Bahkan bisa jadi Ahmad Dahlan adalah seorang Marxis yang memadukan pikiran-pikiran Karl Marx dengan ajaran agamanya walaupun tidak terang-terangan dan garis keras, tapi ini masihlah opini penulis yang belum seratus persen kebenarannya. Tapi apa salahnya, toh kedua-duanya mengajarkan hal yang baik dan berguna untuk masyarakat. Kinilah saatnya kita hapus pandangan-pandangan negatif tentang ajaran Marx, karena dia hanyalah pemikir yang kadangkala mungkin pikirannya tidak cocok dengan kita. Bila kita mau menerima Teologi al-Mā’ūn-nya Ahmad Dahlan, tapi menafikkan Materialisme Historisnya Karl Marx, itu tidak logis. Karena kedua-duanya itu sebenarnya sama, hanya beda nama dan penafsiran saja. Jadi mari kita sebisa mungkin amalkan ajaran dua tokoh besar ini, dengan usaha-usaha kita masing-masing, dengan jalan yang berbeda-beda tapi tujuan yang sama. Yakni pembebasan masyarakat.

Salam Pembebasan! Salam Pemberdayaan!
Wallahu A’lam bishshowab
Nuun wal Qolami wama Yasthurun





Daftar Pustaka
Damami, Mohammad. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2000.
Farihah, Irzum. “Filsafat Materialisme Karl Marx (Epistemologi Dialectical and Historical Materialism),” urnal Fikrah vol.3, no.2 (Desember 2005), 431-452.
Fuadi. “Metode Historis: Suatu Kajian Filsafat Materialisme Karl Marx,” Jurnal Substantia vo.17, no.2 (Oktober 2015), 219-230.
Gaarder, Jostein. Dunia Sophie, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 2010, 2015(cet.15).
Gunawan, Andri. “Teologi Surat al-Maun dan Praksis Sosial dalam Kehidupan Warga Muhammadiyah,” Jurnal Salam vol.5, no.2 (2018), 161-177.
Huda, Sokhi. “Teologi Mustad’afin di Indonesia: Kajian atas Teologi Muhammadiyah,” Jurnal Tsaqafah vol.7, no.2 (Oktober 2011), 345-372.
Maarif, Ahmad Syafii. “Mengukuhkan Teologi al-Mā’ūn dalam Teori dan Praksisme,” Pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 2012.
Mansoer, Masri. “Teologi Sosial: Membaca Pemikiran Ahmad Dahlan,” Muhammadiyah “Ahmad Dahlan”eds. M. Azrul Tanjung, et.al. Jakarta: STIE Ahmad Dahlan dan CDCC, 2015.
Musyafa, Haidar. Dahlan Sebuah Novel. Tangerang Selatan: Javanica. 2017.
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001, 2019(cet.13).
Tsani, Ibnu. “Islam dan Sosialisme: Telaah atas Pemikiran dan Aksi K.H. Ahmad Dahlan,” Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009.




*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syari'ah-Fiqh-Fatwa-Qanun-Qadha' : "Makna, Persamaan dan Perbedaanya"

Hari Santri...Substansi dan Simbol...

Paradigma Advokasi Pelajar Berkemajuan